⭐ 欢迎来到虫虫下载站! | 📦 资源下载 📁 资源专辑 ℹ️ 关于我们
⭐ 虫虫下载站

📄 korpus.txt

📁 Search engine combine by text summarisation in cgi.
💻 TXT
📖 第 1 页 / 共 4 页
字号:
<DOC> 
<DOCNO>kompas010499</DOCNO>
<TITLE>	GERAKAN PERTANIAN ORGANIK Kaki Telanjang Vs Tanduk Kambing </TITLE>
<AUTHOR>   St Sularto 	</AUTHOR>
<DATE>	Kamis, 1 April 1999	</DATE>
<TEXT>

PETANI kaki telanjang, kembali kepada alam, pertanian organik. Paling tidak itu tiga sebutan usaha mengolah tanah yang kurang lebih punya ciri-ciri yang mirip. Yakni: simbol kesatuan petani dengan tanah, ajakan menyelamatkan kerusakan alam dan hilangnya kesuburan tanah, ajakan mengolah tanah tanpa pestisida, pupuk kimia dan zat penyubur tanaman. 

Oleh imbas gerakan reformasi (politik), ajakan itu semakin menggebu dikemukakan. Era kemarin, orde dengan pemerintahan berciri khas penyeragaman dan pemaksaan kehendak dari atas, mengakibatkan petani tidak memiliki dunianya sendiri. Mereka harus menanam jenis tanaman sesuai dengan keinginan pemerintah, bercocok tanam dengan cara-cara yang diinstruksikan pemerintah. Para petani yang tidak taat dikucilkan dengan sebutan, mbalelo, PKI-sebuah cap vonis habis selesai-karena dianggap menghambat pembangunan. 

Karena itu, tidak jarang perlakuan sewenang-wenang sering terjadi. Tanaman padi yang sudah siap dipanen, dibakar karena jenis yang ditanam tidak masuk dalam daftar bibit unggul yang ditetapkan pemerintah. 

Padahal, dalam hal memilih jenis tanaman sesuai dengan jenis tanah, dalam hal mengolah tanah sehingga menghasilkan, yang paling tahu adalah petani. Mereka yang paling tahu apa yang mereka butuhkan. Pemakaian pestisida memang memacu hasil produksi, tetapi sekaligus menghancurkan kesuburan tanah selain dampak buruk lain seperti ketergantungan petani pada pemerintah, atau faktor kesehatan dengan adanya residu bahan kimia dalam tanaman konsumsi. 

Lantas apakah arti reformasi bagi petani? Berani mengusahakan tanah sesuai dengan cara dan keinginan mereka. Mereka dibiarkan mengendalikan harga dan tidak tergantung dari fluktuasi pasar. Mereka yang menentukan harga, juga dalam hal bibit yang dipilih. Petani menjadi mandiri, dalam arti mampu mengorganisir diri. Mereka menjadi organik, justru karena kemampuannya merepresentasikan diri. 

Pertanian organik pun lantas sebagai pilihan, bukan sekadar teknik, beralih dari mengolah tanah yang bersemangat mengeksploitasi tanah sehabis-habisnya kepada cara mengolah tanah sekalian demi kelestariannya. Pertanian organik bukan sekadar alternatif dari sikap rakus mengolah tanah, melainkan cara hidup. Bukan juga antitese dari keinginan memperoleh hasil produksi sebanyak-banyaknya yang disemangati revolusi hijau. 

Revolusi hijau memang sudah divonis sebagai malapetaka. Revolusi hijau telah terbukti sebagai tanduk kambing sekaligus kotak Pandora. Dua simbol dalam mitologi Yunani itu, cornucopia (tanduk kambing) yang mencerminkan melimpahnya pangan dan kotak Pandora yang menyimpan petaka, dipakai oleh seorang penulis ahli ekonomi pertanian AS, Wharton Jr, mengkritik revolusi hijau. 

Dikutip seorang panelis, artikel yang terbit tahun 1969 itu, di tengah sorak-sorai puja-puji keberhasilan revolusi hijau, mengingatkan timbulnya generasi kedua dari isi kotak Pandora. Generasi pertama sudah muncul, yakni kegembiraan orang oleh melimpahnya pangan. Generasi kedua itu di antaranya berupa ledakan hama dan pemasaran hasil produksi yang berlimpah. 

Apa yang diramal Wharton sudah mulai terbukti sejak tahun 70-an. Misalnya, dalam kasus ledakan hama pada tahun 1974-75, Indonesia mengalami serangan hama wereng coklat yang merusak puluhan ribu hektar tanaman padi. Bombardir pemakaian pestisida dan pupuk kimia, menghilangkan kebiasaan petani atau disebut sebagai kearifan lokal, hilang. Pemuliaan tanaman besar-besaran menghasilkan bibit unggul yang memang diarah produksi berumur pendek, sebenarnya rentan hama. Tak lagi masuk dalam pertimbangan, aspek kelestarian kesuburan tanah. 

PETANI kaki telanjang atau usaha pertanian organik hanya salah satu alternatif. Sebagai alternatif, apalagi masih sebagai gerakan, di mana pun tak ada yang besar, belum massal. Menurut pengakuan mereka yang sudah mempraktikkannya, pertanian organik itu usaha mengolah tanah mengandalkan pada pemakaian pupuk kandang, pupuk kompos dan pestisida alami. 
Sementara mengusahakan agroindustri menuntut pemakaian pupuk kimia dalam jumlah besar dan bermacam-macam, harus dalam monokultur dan perhatian rutin. Sebaliknya, dengan jumlah media sawah yang sama, dengan pertanian organik, hasilnya lebih besar, lebih sehat dan tetap memperhatikan kelestarian tanah. 

Dari pengalaman bertani pula, mereka diyakinkan tak mungkin usaha pertanian organik dilakukan seratus persen. Perlu perpaduan antara pemakaian pupuk kimia dan pupuk kompos, antara pupuk pabrik-anorganik dan pupuk organik. Dari segi ilmu tanah pun, pupuk kimia bermanfaat, sehingga yang terpenting adalah bagaimana agar diusahakan semakin kecil pemakaian pupuk dan insekstisida kimiawi. Mesti ada label perbandingan, dan karena itu pula pertanian organik pada saat sekarang adalah gerakan. 

Analogi dengan organ dalam tubuh manusia, setiap anggota diarahkan pada kepentingan dan kesejahteraan seluruh badan. Organisme itu hanya bisa sehat dan kuat kalau setiap organnya melaksanakan kewajiban. Begitu juga setiap organ hanya bisa berfungsi baik kalau seluruh organisme menjaga dan memeliharanya. Setiap badan terorganisasi secara sempurna. Tak mungkin badan mau mengembangkan kepalanya saja agar pandai berpikir, atau hanya tangannya agar pandai mencuri, atau kakinya supaya mampu cepat lari. 

Sikap yang muncul dari kesadaran seperti itu adalah perhatian, tenggang rasa, hormat terhadap semua yang ada. Petani organis melihat bahwa alam sendiri bersifat seperti itu. Tuhan telah mengaturnya, sehingga setiap makhluk bermanfaat bagi makhluk lain. 

Penjelasan itu boleh dikatakan sebagai 'teologi pertanian organis', menyadarkan bahwa mengusahakan pertanian organik dalam kaitan posisinya sebagai kegiatan makhluk ciptaan. Dan rasanya itu pula yang seharusnya menjadi dasar rasionalisasi dan penguatan mereka yang berkecimpung dalam kegiatan pertanian organik. Bahwa organis tak hanya sekadar meninggalkan cara bertani a la modern-konsvensinal yang rakus dengan tujuan utama hasil sebanyak-banyaknya seperti disemangati revolusi hijau. 

AKAN tetapi, gugatan belum selesai, dalam kaitan percepatan pasar bebas ASEAN tahun 2001, tetaplah pertanian dengan organik sekalipun jadi pertimbangan. Di sini soal idealitas dan realitas dalam mengusahakan pertanian organik. Dan rasanya diskusi tidak beranjak dari sana, bahwa pertanian organik pun dari dirinya sendiri mesti melakukan otokritik, sebab agrobisnis bisa memenuhi syarat untuk mampu bersaing, terutama dengan harga murah dan tersedia jumlah besar. Sementara pertanian organik masih menuntut harga tinggi, seperti penghargan pada karya manusia dan sikap meninggalkan mereka yang tak mau mengerti usaha pertanian organik. 

Sikap kemandirian sebagai bangsa amat dibantu oleh hadir dan berkembangnya gerakan pertanian organik. Itu pula yang selayaknya didukung, apalagi sistem ini sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Jalan mengembangkan masih jauh, dan diharapkan menjadi alternatif pertanian efisien dan kompetitif pada pasar internasional, selain juga ramah lingkungan. 

Dalam hal ini, didukung usaha riset dan pengembangan-yang boleh dikatakan secara serius sebetulnya sudah ditangani lembaga swadaya masyarakat semacam Yayasan Bina Sarana Bakti di Cisarua, ataupun di berbagai tempat lain, termasuk mereka yang mengembangkannya secara serentak dalam melihat peternakan sebagai partner in progress pertanian organik- jalan yang ditempuh petani berkaki telanjang-organik memang masih panjang, sudah kalah duluan dengan tanduk kambing. Akan tetapi, ketika semua soal, semua penyakit, semua persoalan yang sifatnya federatif muncul pada era reformasi, era sekarang adalah kondusif. Sebaliknya juga, dari segi lain, ketika perekonomian kita semakin terpuruk, proses menjadi bangsa yang mandiri kelihatannya akan semakin panjang.
</TEXT>
</DOC>
<DOC>
<DOCNO>kompas031003</DOCNO>
<TITLE>Tragedi Petani dan Involusi Kebijakan Pertanian</TITLE>

<TEXT> 

Di balik berita kekeringan dan gagal panen yang dialami ribuan petani Indonesia akhir-akhir ini, sejatinya tersimpan tragedi yang jauh lebih dalam dan tragis. Peminggiran pembangunan sektor pertanian yang telah dilakukan selama 30 tahun menempatkan para pelaku di sektor pertanian (petani) dalam kondisi yang hampir "sekarat". 

Di luar angka yang ditunjukkan dalam statistik pertanian selama ini, misalnya fluktuasi ekspor-impor, pertumbuhan negatif, dan penurunan produktivitas, sebenarnya sektor pertanian mengalami proses pembusukan akut. Masalah serius yang menggelayut di sektor pertanian kian menumpuk, di antaranya kepemilikan lahan yang kian mengecil, akses terhadap input yang kian mahal, biaya transaksi yang terus melambung, dan kelembagaan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada petani. Lantas, apa makna Sensus Pertanian 2003 yang dilakukan Agustus lalu di tengah situasi "kehancuran" sektor pertanian itu?

Tahun 2000/2001 saya pernah melakukan penelitian terhadap rumah tangga petani kecil (small farm households) yang memiliki lahan di bawah satu hektar. Meski survei itu mengambil studi kasus di dua desa di Kabupaten Malang, tetapi dengan sedikit melakukan generalisasi rasanya hal itu bisa mewakili keseluruhan karakteristik rumah tangga petani kecil di Pulau Jawa. Salah satu temuan mengejutkan dari studi empiris itu ternyata sekitar 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm).

Pekerjaan non-farm itu antara lain menjadi kuli bangunan, ojek, membuka toko, sektor informal, dan sebagainya. Jadi, secara formal pekerjaan mereka adalah petani, tetapi secara faktual tidak lagi hidup dari sektor pertanian (on-farm). Dalam kategori seperti ini sebenarnya bisa dikatakan tidak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Celakanya, struktur petani di Indonesia didominasi pemilik lahan sempit itu. Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan, 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim berkisar antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000 atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan (Kompas, 21/5). Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga lima orang, pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 25.000 per bulan, setara dengan Rp 300.000 per tahun (pendapatan ini lebih rendah dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima tenaga kerja di sektor formal). Dengan begitu, angka-angka itu tidak saja mendeskripsikan kecemasan akan kualitas hidup yang jauh dari layak, tetapi juga menyiratkan betapa proses "kematian" sebentar lagi akan menyergap pelaku ekonomi di sektor pertanian.

Kondisi yang lebih menyesakkan juga saya jumpai dalam penelitian yang masih berlangsung hingga kini (tentatif). Studi empiris yang saya kerjakan terhadap petani tebu di Jawa Timur menunjukkan, penyebab inefisiensi di tingkat petani bukan semata karena tingginya biaya produksi maupun rendahnya produktivitas, tetapi akibat besarnya biaya transaksi yang harus dipikul petani. Biaya transaksi yang per definisi bisa dipahami sebagai seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran dengan pihak lain ternyata proporsinya mencapai 60 persen dari total biaya yang dikeluarkan petani tebu.

Biaya transaksi itu meliputi "manipulasi" rendemen, tetes tidak terbagi, pajak lahan, inefisiensi TMA (tebang-muat- angkut), sabotase bagi hasil, bunga kredit, lama antre giling, dan lain-lain. Praktik yang sama juga dialami petani lain, semacam petani cengkeh, tembakau, cokelat, dan teh. Singkatnya, tragedi itu terus berlangsung dan tidak ada tanda-tanda bakal usai hingga kini.

Menyikapi persoalan genting itu, tampaknya pemerintah hingga kini belum mengeluarkan kebijakan yang sebanding dengan besar masalah. Bahkan yang mengemuka akhir-akhir ini, kebijakan pemerintah terkesan mempercepat proses kematian sektor pertanian (involusi kebijakan). Dalam perdagangan internasional, pemerintah banyak meliberalisasi pasar produk pertanian, padahal aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik.

Adapun untuk subsidi, telah lama subsidi input dikurangi dengan sangat drastis oleh pemerintah, padahal negara-negara maju masih memberi subsidi sampai 300 miliar dollar AS tiap tahun kepada sektor pertanian (The New York Times, 2/12). Berita paling mutakhir mengabarkan Konferensi Tingkat Menteri V WTO di Meksiko gagal menghasilkan konsensus apa pun mengenai pengurangan hambatan dalam perdagangan produk pertanian (Kompas, 16/9). Hal ini terjadi karena negara maju, seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang, menolak untuk memangkas secara drastis subsidi ekspor dan subsidi jenis lain yang selama ini diberikan kepada petani.

Jika pemerintah masih memiliki komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan petani, hal yang harus dilakukan adalah segera memberlakukan keadaan "darurat" kepada sektor pertanian sehingga ada tekanan perubahan kebijakan secara radikal.

Pertama, dalam krisis ekonomi berkepanjangan, alokasi anggaran yang diberikan kepada sektor ekonomi yang dihuni paling banyak penduduk (45 persen dari total tenaga kerja bekerja di sektor pertanian) akan menisbahkan manfaat yang berarti. Jika alokasi anggaran negara (APBN) itu dibelokkan sebagian besar ke sektor pertanian, stimulus ekonomi yang terjadi bakal langsung berdampak ke sektor ekonomi yang nyaris karam. Langkah ini lebih kredibel dibanding pemerintah secara beruntun menggunakan anggaran negara untuk kepentingan lima persen penduduk yang tidak pernah menjadi dewasa karena terus disuapi selama puluhan tahun.

Kedua, membenahi kelembagaan ekonomi sektor pertanian yang selama ini selalu menempatkan petani sebagai "pecundang". Secara praktis kelembagaan ekonomi itu berbicara mengenai aturan main yang memungkinkan tiap pelaku ekonomi bisa menjalankan proses transaksi secara sepadan dan menjamin kepastian (institutional arrangement). Muara perbaikan kelembagaan ekonomi ini adalah menurunkan biaya transaksi yang harus ditanggung petani sehingga bisa mendonorkan efisiensi secara keseluruhan. Agenda lain yang tidak kalah penting, memutus peran rents-seekers yang kerap beroperasi dalam sektor pertanian, seperti pedagang besar yang mengijon tanaman dan tengkulak yang menutup akses petani ke pasar. Pendeknya, kelembagaan ekonomi merupakan penggerak utama (prime mover) yang akan mempertemukan tiap pelaku ekonomi (pertanian) dalam proses interaksi yang sederajat sehingga tidak berakibat terjadinya eksploitasi satu pihak atas pihak lainnya yang lebih lemah.

Ketiga, sudah selayaknya dibentuk bank pertanian yang khusus melayani kebutuhan finansial sektor pertanian. Secara praktis mungkin pemerintah tidak harus membentuk bank baru, tetapi bisa mengalihfungsikan peran bank perkreditan rakyat yang selama ini belum fokus kepada pembelaan pelaku ekonomi kecil (sektor pertanian). Dalam implementasinya bank pertanian itu tidak hanya memfasilitasi kredit petani, tetapi juga membantu keuangan bagi pelaku ekonomi yang mengolah maupun mendistribusikan barang pertanian. Misalnya, kasus kredit petani, selama ini yang dikeluhkan prosedur kredit amat rumit dan tidak bisa cair pada saat dibutuhkan. Sementara praktik agrobisnis, industri pengolahan sering mengalami kesulitan untuk merenovasi mesinnya karena hambatan kapital (seperti kasus industri gula).

</TEXT>
<AUTHOR>Ahmad Erani Yustika</AUTHOR>
<DATE>03-10-2003</DATE>
</DOC>
<DOC>
<DOCNO>kompas050802</DOCNO>
<TITLE> Petani Riau Mulai Beralih ke Pertanian Organik </TITLE>

<TEXT>

Pekanbaru, Kompas - Sistem pertanian organik mulai banyak diminati petani di Provinsi Riau seiring dengan semakin tingginya biaya sarana produksi pertanian. Selain ramah lingkungan, sistem pertanian terpadu ini diyakni mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan. 

"Semula kami tidak percaya dengan sistem ini. Namun, setelah mendapat penyuluhan dan bimbingan dari petugas lapangan, petani di sini sudah percaya 200 persen," ujar Rasmi (48), petani cabai yang ditemui dalam acara pekan pemberdayaan masyarakat Riau yang diselenggaran PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, Sabtu (3/8). 

Selain Rasmi, terdapat sekitar 750 keluarga petani di Riau yang menerapkan sistem pertanian organik. Sebelum beralih ke pertanian organik, mereka mengikuti pelatihan yang diselenggarakan PT RAPP selama dua pekan, kemudian mendapat bimbingan oleh sekitar 30 sarjana pertanian yang direkrut PT RAPP sebagai petugas lapangan. 

"Dulunya kami nelayan dengan penghasilan tidak tetap. Sekarang pekerjaan itu kami tinggalkan dan bersama masyarakat lainnya mengolah lahan dengan sistem pertanian organik. Penghasilan dari tanaman cabai saja sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta sebulan," ujar Rasmi, petani dari Desa Langgam, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan. 

Keberhasilan Rasmi mengolah lahan podzolik merah kuning menjadi lahan yang subur dengan menggunakan kompos mendapat pujian dari Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. "Keberhasilan dari daerah ini akan saya sampaikan ke daerah-daerah lain agar bisa dijadikan contoh," kata Makarim yang hadir memberi penghargaan kepada petani dan institusi terbaik dalam menerapkan pertanian organik. 

Direktur Program Pemberdayaan Masyarakat Riau (PPMR) PT RAPP Ir H Elyas menjelaskan, perusahaannya dalam setahun melatih petani dalam 12 angkatan. Setiap angkatan dalam program yang telah berlangsung tiga tahun ini, dilatih 25-30 petani agar taraf hidupnya dapat ditingkatkan. 

"Program ini ditujukan kepada petani marjinal di sekitar lokasi hutan dan pabrik PT RAPP. Kami akan bimbing mereka hingga menjadi petani mandiri hingga sejahtera. Ini juga salah satu solusi untuk mengatasi pencurian kayu oleh masyarakat di wilayah ini," kata Elyas. 

Dirut PT RAPP Ibrahim Hasan menambahkan, program pemberdayaan ini merupakan komitmen perusahaannya untuk membangun masyarakat petani yang selama ini berada pada posisi yang tidak menguntungkan. 
</TEXT>
<AUTHOR>(RUS) </AUTHOR>
<DATE>Senin, 5 Agustus 2002 </DATE>
</DOC>
<DOC>
<DOCNO>kompas081203</DOCNO>
<TITLE>Mutu Pangan Organik </TITLE>

⌨️ 快捷键说明

复制代码 Ctrl + C
搜索代码 Ctrl + F
全屏模式 F11
切换主题 Ctrl + Shift + D
显示快捷键 ?
增大字号 Ctrl + =
减小字号 Ctrl + -